Jumat, 03 Januari 2014

[Inspirasi] Air Mata Pemi



Sumber: Air Mata Pemicu Itu
Kronologi :


Cerita yang berkembang, empat mahasiswa tewas karena ditembak saat lari masuk kampus. Pelakunya diduga dari jalan layang atau di Mal Ciputra. Ini dia kisah versi dulu.


Kamis, 12 Mei1998. Jakarta masih panas oleh aksi mahasiswa. Kala itu, Soeharto tengah berada di Mesir guna lawatan. Situasi di dalam negeri panas, intrik di militer dan pemerintahan pun meruncing. Beberapa kampus menggelar mimbar bebas menuntut reformasi. Hari itu demo terbesar terjadi di kawasan Grogol. Sekitar 10.000 massa terdiri atas mahasiswa, dosen, guru besar, dan karyawan Universitas Trisakti menggelar mimbar bebas. Rektor Trisakti Prof. Moedanton tampak di tengah-tengah massa. Lapangan parkir Gedung Syarief Thayeb seakan tak mampu menampung massa yang meluap. Di luar pagar kampus, masyarakat sekitar berbondong-bondong menyaksikan aksi ini yang didukung penuh oleh pihak rektor dan yayasan Trisakti.


Sampai siang hari, aksi mimbar bebas itu masih berjalan tertib. Mahasiswa masih setia, di dalam kampus, mendengar orasi dari dosen, guru besar, dan rekan-rekannya. "Turunkan harga, laksanakan sidang istimewa MPR," begitu teriakan massa berulang kali. Seorang mahasiswa mengacung-acungkan poster: Rakyat Minta Turunkan Soeharto. Sayang, Jenderal Besar Nasution yang rencananya hadir memberi orasi urung datang.


Menjelang tengah hari, aksi makin panas. Terjadi pembakaran foto Presiden Soeharto. "Turunkan! Turunkan!" suara gemuruh menutut. Setelah itu, tanpa bisa dibendung, mahasiswa berbondong-bondong keluar kampus, tumpah di Jalan S. Parman menuju Gedung DPR/MPR. Masyarakat ikut bergabung, meski ada pembatas dengan mahasiswa. Mendadak berbondong-bondong datang pasukan keamanan, yang awalnya cuma selapis. Lalu jumlahnya mencapai sepuluh lapis. Barisan mahasiswa pun akhirnya terhenti di depan Markas Kodim Jakarta Barat, 200 meter dari kampus Trisakti.


Situasi mulai memanas. Terjadi saling dorong antara aparat dengan massa. Para demonstran memaksa agar bisa menuju Gedung DPR/MPR dengan kawalan pasukan keamanan. Sebagian mahasiswa yang tak sabar mencoba menembus lewat jalan tol, meski akhirnya berhasil dihadang pasukan. Untunglah, tak terjadi bentrokan fisik. "Niat kami aksi damai," ujar Julianto Hendro Cahyono, ketua Senat Mahasiswa Trisakti.


Upaya negosiasi dilakukan. Wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo Soetjipto, meminta kepada Dandim Jakarta Barat Letkol Amril Amir agar mahasiswa dibolehkan ke Gedung DPR. Tapi aparat tetap kukuh, tidak mengizinkan mereka menuju ke gedung rakyat itu. Mahasiswa akhirnya melakukan orasi di jalan raya, di hadapan barisan aparat keamanan. Beberapa mahasiswi membagikan bunga kepada aparat keamanan, meski kadang dicampakkan. Jalan raya dari arah Gorgol menuju Senayan yang tiap hari macet makin buntet.


Bala bantuan keamanan terus berdatangan. Dipimpin Letkol Arthur Damanik, lima panser disiapkan. Terjadi kesepakatan, mahasiswa boleh melakukan orasi sampai pukul 16.00. "Saya minta kalian berjanji bahwa di tempat ini tidak ada aksi kekerasan, tidak ada perusakan," teriak Adi Andojo yang disambut tepuk tangan mahasiswa. Mahasiswa melanjutkan orasi, meminta pelaksanaan reformasi di segala bidang dilakukan secepatnya, termasuk pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Hujan mulai turun sore itu, cukup deras.

Massa mulai pecah, sebagian kembali ke kampus. Tapi, sebagian besar mahasiswa masih bersemangat menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Mereka didukung mahasiswa dari universitas lain, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Tarumanagara. Hujan makin deras. Jumlah massa menyusut, tinggal sekitar seribu  orang. Lewat pengeras suara, seorang aparat memperingatkan mahasiswa,  


"Sesuai kesepakatan, aksi harus diakhiri pukul empat sore." Adi Andojo ditemani Dr. Chairuman, dekan Fakultas Ekonomi Trisakti, mendatangi mahasiswa. Mereka membujuk mahasiswa agar membubarkan diri dan kembali ke kampus. Namun mahasiswa menuntut agar pagar betis pasukan keamanan mundur terlebih dahulu. Akhirnya Kapolres Jakarta Barat Letkol Timur  Pradopo dan Dandim Jakarta Barat Letkol Amril Amir menaiki sebuah meja. Kepada mahasiswa mereka menyatakan rasa terima kasih atas aksi  unjuk rasa yang tertib itu.


Terjadi kesepakatan. Sekitar pukul 16.50 kedua pihak sama-sama "belok  kanan". Mahasiswa menuju kampus dan aparat keamanan menuju Markas  Kodim. Nah, saat massa beringsut masuk ke kampus, tiba-tiba muncul seorang yang mengejek mahasiswa dengan kata-kata kotor. Ulah orang  yang bernama Mas'ud itu memancing kemarahan mahasiswa. Mereka  menyangka ia intel, lalu mengejarnya. Mas'ud lari ke barisan pasukan. Untunglah, Hendro, ketua SM Trisakti, menahan amarah mahasiswa, dan mundur kembali ke kampus. Saat itu sudah menjelang pukul 17.00. Hujan mulai reda.


Tiba-tiba muncul sejumlah pasukan keamanan baru. Mereka masih muda-muda, berseragam coklat dan bersenjata. Gaya dan sikap mereka lebih keras ketimbang pasukan Dalmas (pengendalian massa). Mereka melakukan provokasi terhadap mahasiswa yang sudah berada di halaman kampus.


Lalu, beberapa menit kemudian terdengarlah raungan barisan sepeda motor pasukan Unit Reaksi Cepat (URC) menuju halaman Trisakti. Sangat bising. Mereka mulai menembakkan gas air mata ke arah barisan mahasiswa. Asap perih mengepul. Tiba-tiba pasukan yang sudah mulai  masuk ke Markas Kodim Jakarta Barat berbalik. Tembakan makin gencar.  


Massa kacau balau. Sebagian berlari sambil membungkukkan badan ke halaman kampus. Pasukan baris depan memburu mahasiswa dan  memberondongkan senapan. "Laras senjata mereka terarah mendatar," ujar salah seorang mahasiswa. "Mereka menembak membabi buta," katanya menambahkan. Pagar kampus yang sempit membuat massa saling berebut masuk halaman. Beberapa mahasiswa terinjak kawan sendiri, sementara yang lainnya diinjak-injak aparat keamanan. Banyak yang jatuh di  jalanan. Jay, mahasiswa FE Usakti, melihat mereka yang tersungkur kena tembakan ditendang, lalu ditodong senapan. Seorang mahasiswi yang  sudah tumbang, terbujur di jalan aspal, masih juga ditendang laras  sepatu aparat. Puluhan mahasiswa terluka. Sebagian massa yang  menyelamatkan diri ke kantor Wali Kota Jakarta Barat tak luput dari  sasaran aparat.    


Ketua SM Trisakti sampai saat terakhir masih berada di jalanan, sekitar pukul 17.05. Ketika berlari ke kampus menyelamatkan diri, ia  tersungkur. Bagian bawah ketiak kanannya tertembak dari belakang persis di pelataran dekat ruang senat. "Waktu itu saya sedang negosiasi dengan Dandim dan Kapolres Jakarta Barat. Tiba-tiba pasukan menyerang mahasiswa dengan tembakan," ujarnya.  


Tembakan makin gencar ketika beberapa aparat keamanan bergerak menuju jalan layang. Berbarengan dengan itu, aparat melakukan sweeping. Dari  dalam kampus, mahasiswa melakukan perlawanan. Batu dan botol Aqua mereka lemparkan, membalas aksi aparat. Petugas pun makin beringas.  Beberapa dari mereka berhasil memasuki kampus "A" Trisakti. Sementara  yang lainnya mengambil posisi di atas gedung yang sedang dibangun di sebelah gelanggang mahasiswa. Dari sini mereka menembaki mahasiswa. "Aparat juga menembaki kami dari arah kampus Tarumanagara," tutur Hendro.


Dalam keremangan malam, beberapa mahasiswa mengaku melihat helikopter terbang rendah ke gedung C yang belum berfungsi--gedung ini terletak  di selatan gedung M. Tampak diturunkan lima penembak jitu yang terlatih. Dugaan itu muncul karena mereka melihat banyak bayangan sinar inframerah sebagai pengarah bidikan.

Sekitar pukul 19.00 WIB, terjadi negosiasi yang disaksikan anggota Komnas HAM dan Kontras. Aparat keamanan ditarik. Keadaan mencekam baru  berhenti pada pukul 20.00. "Selama tiga jam kami ketakutan," ujar  Idon, mahasiswa Fakultas Teknik. Seterusnya, para korban dibawa ke  Rumah Sakit Sumber Waras. Ruangan Senat Mahasiswa penuh dengan korban yang menunggu evakuasi.


Ketegangan kembali muncul ketika tersiar kabar bahwa empat mahasiswa tewas tertembak. Elang Surya Lesmana, mahasiswa arsitektur, ditemukan  tewas tertembak di teras Gedung Syarief Thayeb, satu meter dari pintu  masuk. Menurut saksi mata, ia tewas saat itu juga dengan peluru  menembus bagian bawah kepalanya. "Elang sempat diangkat kepalanya saat tergeletak sebelum meninggal," kata Doni Herlambang, mahasiswa  Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, yang juga anggota presidium  Senat Mahasiswa Usakti.  


Di bawah tangga Gedung Syarief Thayeb pula, Hendriawan, anak Fakultas Ekonomi Usakti angkatan 1996, tertembak di leher. Hendriawan sempat  dibopong teman-temannya, sebelum tubuhnya meregang, lalu diam. Dua  mayat lainnya, Heri Hartanto dan Hafidin Royan, ditemukan tergeletak  di lorong kampus. Kesaksian seoarang mahasiswa menyebutkan, saat  dirinya berhasil masuk ke kampus, ia sempat menolong mahasiswa yang tertembak. "Saya tarik dia, tetapi sudah meninggal. Saya lihat  kepalanya tertembak. Saya baru tahu kalau itu Hafidin Royan," tutur mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri angkatan 1996. Menurut ahli forensik dr. Mun'im Idries, keempatnya tewas akibat tembakan peluru tajam.   

 
Elang, menurut Bambang Imanul Hakiem, ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Industri Usakti, termasuk salah seorang satgas pada aksi hari itu. "Makanya sejak pagi ia sudah ada di kampus ikut persiapan acara demo," katanya. Sejak mimbar bebas di halaman kampus sampai bentrokan terjadi, Elang masih tampak bersama kawan-kawannya. "Bahkan pada pukul 3 siang Elang masih sempat foto bareng teman-temannya di tengah massa demonstran," katanya. Menjelang peristiwa itu, menurut Bambang Imanul Hakiem, tidak ada keanehan di kampus Trisakti. "Cuma kita kaget saja, tiba-tiba banyak pers asing yang meliput aksi kami," katanya.
 Ya, di tengah situasi yang menegangkan, apa pun bisa tercecer. Termasuk kejadian penuh misteri ini.  

Tim Panji

0 komentar:

Posting Komentar

@totokaryanto_kebumen. Diberdayakan oleh Blogger.