Jumat, 07 Mei 2010

Pelukan Sang Pelangi: Film Indie Pertama di Kebumen






Pelangi adalah fenomena alam yang selalu muncul dalam suasana khas. Setelah hujan turun dan kehadiran matahari dengan bias sinar lembutnya. Pembiasan itu menghasilkan spektrum warna dasar nan indah dan menawan: merah, jingga, kuning, hijau, biru dan ungu. Dengan bentuk yang tak pernah berubah sebagai lengkungan menandakan sang pelangi adalah hal unik, Jika kita mampu menggapai dan memeluknya dalam dekap hangat semangat hidup manusia adalah anugerah terbesar dari Sang Maha Pencipta karena ada perpaduan harmonis antara konsistensi (sikap, idealism, core value) yang ditandai oleh kehadirannya. Dan keberagaman warna kehidupan sebagai fitrah manusia selaku mahluk ciptaanNya.

Gagasan membuat cerita warna warni kehidupan masyarakat Kabupaten Kebumen yang kemudian diadopsi sebagai skenario film indie Pelukan Sang Pelangi (PSP) berawal dari kegelisahan para anggota Komunitas EGO. Semua anggotanya pernah dan tengah mengenyam proses pendewasaan diri di kota pelajar Yogyakarta merasa terasing ketika berproses di rumah sendiri. Keterasingan ini sangat terasa ketika harus berhubungan dengan aparat pemerintah.
Keunikan lain adalah pertemuan tak sengaja antara saya dan Achmad Marzoeki alias Kang Juki yang kemudian diketahui sebagai bakal calon (balon) Bupati di sebuah jejaring sosial yang berlanjut kontrak ngamen untuk mendukung upaya sosialisasi dirinya di acara Pesona Kandidat televisi lokal. Dukungan ini tentu saja dengan reserve hanya dalam rangka sukses acara dan gagasan yang “sealiran”. Artinya, bersikap profesional dan saling menghargai eksistensi masing-masing adalah wujud kesepahaman moral dalam kerjasama itu.
Keserba-betulanan nampaknya memang mengiringi proses pembuatan film indie pertama ini di Kabupaten Kebumen. Pertama, menggabungkan dua konsep dasar serupa. Antara disiplin ilmu budaya dan ekonomi (akuntansi). Karena seni memang untuk seni, kemaslahatan dan kemakmuran. Kesamaan visi yang berorientasi pada proses membuat energi yang ada pada anggota-anggota Komunitas Ego seolah selalu terbarui.

Kedua dan terutama adalah pembuktian kapasitas. Agar terjadi kesetaraan posisi kerjasama yang baik harus dibangun atas kesetaraan. Karena merupakan hal baru, maka melalui dana Majelis Kajian Peradaban dan Budaya (Masjid Raya) menggandeng Hanito Kreasindo yang menangani sumber daya manusia dan teknis produksi. Pola kontraktual yang digunakan adalah gentleman agreement model. Masing-masing pihak bertanggung jawab penuh secara moral untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya agar proses pembuatan film indie PSP berjalan lancar menurut jadwal yang disepakati bersama. Ini merupakan tantangan besar dan cukup sulit bagi anggota Komunitas Ego dalam memelihara komitmen waktu dan kedisiplinan pribadi.

Perjalanan dalam proses produksi film ini dapat dibilang unik. Fokus pada potensi dan nuansa lokal Kebumen ibarat olahraga ekstrem pemacu adrenalin. Apa yang mampu dilakukan dalam kurun waktu sekitar dua bulan proses produksi sampai peluncurannya ke masyarakat? Kisah seperti apakah yang layak diangkat dalam skenario ? Bagaimana cara menyiasati kekurangan dan dari mana sumber dayanya ? Banyak pertanyaan serupa yang terus bermunculan sepanjang proses produksi film indie PSP. Jawabannya mengacu pada dasar kesepahaman yakni berorientasi pada proses dan memaksimalkan potensi masing-masing pihak.

Skenario disusun dari hasil observasi lapangan Theodeka Wardana yang punya pengalaman dalam pembuatan film dan banyak beraktivitas sebagai pengamen di warung-warung sekitar alun-alun kota Kebumen. Kerangka cerita dibangun secara paradoksal. Hal apa yang cukup menonjol dan dipandang jelek oleh kebanyakan orang yang ada di lokasi itu? Kumpulan anak muda usia remaja yang tengah beranjak dewasa di berbagai sudut setiap sore hari dan puncaknya adalah malam Minggu yang cerah. Ada yang sekadar ngobrol, pacaran, cari perhatian lingkungan dan sebagainya. Dari dua minggu observasi lapangan, Putut AS dan anggota Komunitas Ego lainnya banyak memberi masukan. Gank motor, sebuah sebutan sekenanya bagi sejumlah anak muda yang suka bergerombol dan melakukan proses aktualisasi diri menurut cara yang mereka sukai dan pahami dengan sepeda motor serta uang jajannya. Mengalirlah sejumlah nama tokoh utama (Dude, Tasya dan keluarga Pak Komar), beragam nuansa kehidupan yang melingkupi, suasana keseharian warga masyarakat umum dan sebagainya. Secara keseluruhan, gambaran pelangi yang terbentuk dari spektrum warna dasar merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu terwakili. Juga proses terjadinya dari bias-bias cahaya matahari yang menimpa air hujan adalah cermin biasnya pandangan sepihak dari satu terhadap kelompok lain dalam masyarakat kita.

Dalam waktu sekitar sembilan jam, semalam suntuk kami mendapatkan 16 scene (cerita inti untuk setiap adegan) yang masing-masing berdurasi sekitar dua menit. Masih belum diberi judul. Sore harinya saya menerima pesan singkat dari Theodeka bahwa judul cerita itu adalah Pelangi Di Atas Alun-alun. Di saat yang sama, saya tengah membahas naskah awal bersama Putut. Sebelum itu saya sudah minta pertimbangan Putut soal makna kata “sang” pada judul naskah awal yang ingin saya ajukan. Yakni Pelukan Sang Pelangi. Kami berdua sempat bersitegang sebelum kehadiran orang ketiga, Theodeka. Melalui diskusi yang cukup alot, menjelang azan maghrib terjadi kesepakatan tiga orang ini atas judul film indie yang akan kami lakukan proses produksinya segera sesuai kesepakatan dengan pihak Masjid Raya. Setelah melalui revisi sekitar sembilan kali, akhirnya naskah baku Pelukan Sang Pelangi jadilah.

Satu demi satu langkah dilakukan untuk mewujudkan film indie ini. Penjaringan pemain sekurang-kurangnya dilaksanakan empat kali. Dua kali pengunduran jadwal, sekali penggantian tempat sewa alat dan beberapa kali pengulangan adegan karena beragam sebab. Lama kelamaan semua pemain dan punggawa akrab dengan kata-kata : bocor. Sebuah istilah untuk ketidak-sempurnaan dalam proses pembuatan gambar. Juga berbagai istilah teknis dalam pembuatan film seperti camera-roll-action, take, cut dan lain-lain.

Selain faktor teknis, banyak kejadian unik selama proses produksi. Overlapping tugas karena rangkap peran antara pemain dan punggawa. Demam panggung tak terhindarkan sebagai pengalaman pertama dalam kehidupan semua orang yang terlibat. Atau jawaban keras penarik becak yang tengah melintas di lokasi membuat bocor proses pengambilan gambar pada saat salah satu pemain berteriak “ pangil becak…”. Yang membuat kami gembira adalah munculnya pemahaman warga masyarakat di sekitar lokasi pengambilan gambar bahwa proses pembuat film yang itu sulit karena sebuah adegan dapat diulang beberapa kali sebelum sang sutradara menyatakan selesai sepenuhnya (perfect). Di akhir waktu proses pengambilan gambar disepakati untuk mengabadikan kata bocor dengan ilustrasi suasana Pantai Bocor menjelang matahari terbenam sebagai akhir cerita episode pertama film PSP berjudul Pelangi di Lubuk Hati.
***

0 komentar:

Posting Komentar

@totokaryanto_kebumen. Diberdayakan oleh Blogger.