PASAR SENGGOL 2011 - SEDERHANA TAPI MANIS

Belajar dari kegagalan tahun sebelumnya, penyelenggaan tradisi grebeg Maulid oleh warga masyarakat di sekitar Pasar Selang dilakukan dengan cara sederhana.

ULASAN DEWAN JURI FESTIVAL TEATER KEBUMEN 2010

Festiva; Teater Kebumen 2010 adalah festival teater umum dan pelajar pertama di Kabupaten Kebumen yang diselenggarakan oleh FoPSeT dan Masjid Raya di Gedung Haji Jl. Veteran Kebumen.

MENGGENGGAM DUNIA (I)

Sebuah fiksi yang diangkat dari cerita kematian Elang Surya Lesmana. Mahasiswa dan relawan PMI di Universitas Trisakti Jakarta yang memicu kemarahan mahasiswa dalam mempercepat Gerakan Reformasi 1998. Cerita ini juga menginisiasi #RUUKepalangmerahan

KONSPIRASI HATI

Gerakan relawan PMI untuk pengesahaan #RUUKepalangmerahan adalah Konspirasi Hati para Relawan PMI se Indonesia yang memandang proses pembahasan kewajiban negara RI atas ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 itu harus dilakukan dengan sebuah kesadaran bersama.

PELUKAN SANG PELANGI-FILM INDIE PERTAMA DI KEBUMEN

Pelangi penuh warna dan warna itu terwakili oleh semua orang yang terlibat dalam penggarapan film indie pertama di Kebumen yang berjudul Pelukan Sang Pelangi. Disutradarai Theo Deka Wardhana dan Putut AS.

Rabu, 08 Januari 2014

Menggenggam Dunia (2)

Bantuan terpal di Piyungan (doc.pribadi).

Hari ke tiga Elang mendapat pengalaman sangat berharga. Pagi itu ada ratusan orang berkumpul di sekitar tugu depan markas. Mereka datang dari berbagai penjuru. Semakin siang jumlahnya telah mencapai ribuan. Entah dari mana asalnya, orang-orang yang mengaku korban bencana alam terbesar di Pulau Jawa sepanjang sejarah Indonesia merdeka itu berteriak meminta agar tenda bantuan dari Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah segera dibagikan. Adakah orang dalam sekretariat markas Operasi Tanggap Darurat membocorkan informasi kedatangan bantuan internasional yang sebagian besar dari Aceh ? Sampai akhir masa operasi, tak diperoleh jawaban pasti.

Inisiatif meredam suasana pertama dari Satpol PP Kabupaten Banjarnegara yang datang membantu bersama segenap unsur Satkorlak Penanggulangan Bencana kabupaten yang pernah dilanda bencana longsor cukup besar beberapa bulan sebelumnya. PMI Kabupaten Bantul pada kejadian itu membawa bantuan tenaga dan ambulan pada hari pertama kejadian. Jadi, kedatangan mereka adalah balasan dan bentuk kepedulian pada masyarakat Bantul.

Sayang sekali, berbagai upaya membujuk para pengungsi gagal. Elang mulai gelisah dan terus berpikir mencari solusi. Dari arah belakang tempatnya berdiri, sejumlah relawan membawa dos-dos air mineral. Tanpa berpikir lagi, Elang langsung mendampingi dan segera ikut membagikan kepada para pengungsi yang mulai berkeringat karena terik panas matahari siang itu. Meski ada yang berusaha menolak, akhirnya semua mau menerima.

Sebagian pengungsi mulai mencari tempat berteduh. Elang dan relawan terus membagikan air mineral dalam kemasan botol plastik kecil. Mungkin sudah lebih dari 100 dos. Tak ada yang menghitung. Juga tak ada yang menahan jika ada pengungsi yang meminta lebih dari satu sampai rombongan relawan pembawa nasi bungkus datang dan membagikannya kepada mereka.
Seorang relawan muda, laki-laki dan bertubuh kurus mendekat sejumlah orang yang masih berdiri di depan tugu. Ia disertai seorang perempuan yang membawa pengeras suara portable. Dengan dialek Banyumasan yang kental, lelaki itu memberikan pengumuman
” Bapak...ibu dan saudaraku semua. Ijinkan saya meminta perhatian anda sebentar sambil menikmati sajian makan siang yang sangat sederhana. Kami mohon agar setelah makan siang, seorang yang mewakili lingkungan tempat tinggal anda sebelum terjadi gempa agar berkumpul di tenda sebelah Utara yang ada di sebelah kiri markas untuk mendata kebutuhan pengungsi. Tidak hanya tenda seperti yang anda minta, tapi belum sampai di sini. Juga kebutuhan pangan, sandang dan alat-alat kebersihan. Bagi yang datang selaku pribadi, silakan berkumpul di lapangan sebelah kanan gedung Pramuka”, suara relawan itu diulang beberapa kali.

Sambil membagikan beberapa bungkus nasi yang terakhir, Elang tersenyum dalam hati. Siapa yang punya gagasan cerdas memecah massa pengungsi agar mudah diarahkan untuk mendata kebutuhan riil mereka ?  Dan... nasi bungkus ini kan dari dapur umum untuk makan siang relawan. Jadi....., ia geleng-geleng kepala. Wah..bakalan makan siang dengan mie instan lagi, gumam Elang menuju dapur umum yang mulai ramai didatangi para relawan. Pelajaran pertama di tempat pengungsian. Mendulukan korban ketimbang diri penolongnya sesuai materi diseminasi kepalangmerahan yang ia terima saat ikut latihan dasar buat Korps Sukarela (KSR) setahun yang lalu.  

Minggu, 05 Januari 2014

Menggenggam Dunia (1)


Pengantar:

Cerita ini dan beberapa cerita lain adalah bagian dari sebuah upaya saya dalam menulis cerita bersambung dengan judul : ELANG MENGEPAK JAGAD RAYA.  Sebuah cerita yang didedikasikan kepada Elang Surya Lesmana. Seorang mahasiswa dan relawan PMI di Universitas Trisakti Jakarta yang menjadi korban penembakan aparat keamaan saat terjadi tragedi berdarah di sekitar Kampus Universitas tersebut pada 12 Mei 1998. Peristiwa ini memicu solidaritas mahasiswa se Indonesia dan kemudian menjadi gelombang protes yang menuntut penurunan Jenderal Besar Soeharto sebagai lambang tirani kekuasaan militeristik Orde Baru. 

Kasus Elang yang tak kunjung diselesaikan dan hanya diakui sebagai "korban musibah politik" oleh kalangan DPR RI yang menikmati segala kemudahan dan keuntungan pribadi maupun kelompok politik dari para korban seperti Elang. Dan kasus ini menginspirasi sejumlah sivitas akademi Universitas Trisaksi khususnya Studi Hukum Internasional bersama relawan dan staf  pada Markas Besar PMI (almarhum Kristobal, Titus dan Audi Sapta serta Fitria Sidiqah) menyusun draft Rencana Undang-undang Lambang sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang ditanda-tangani dan disahkan oleh Pemerintah RI (saat itu RIS) dalam UU No. 59 tahun 1958 tentang perlindungan bagi petugas kesehatan dalam Dinas Kesehatan TNI dan perhimpunan nasional kepalangmerahan (PMI). RUU Lambang yang digagas pemerintah RI mengalami jalan buntu (deadlock) karena ada sejumlah fraksi menganjalnya menjadi UU.

Nasib serupa hampir terjadi pada #RUUKepalangmerahan yang digagas oleh DPR RI yang kini berstatus sebagai RUU yang akan dibahas dalam akhir masa sidang DPR RI. Tapi ada tanda-tanda yang mengarah kebuntuan pembahasan karena Ketua Pansus-nya, Ansory Siregar selalu mengulur waktu dan membuat alasan yang tidak prinsip. Karenanya, relawan PMI se Indonesia mempertanyakan perkembangan proses pembahasan dalam suatu Aksi Simpatik pada 3 Desember 2013 dan beberapa hari sesudahkan dengan beraudiensi ke berbagai fraksi. Termasuk Fraksi PKS dan bertemu langsung dengan Ketua Pansus, Ansory Siregar.

Cerita bersambung ini hanya fiksi. Namun banyak diilhami oleh nasib Elang Surya Lesmana yang kasusnya juga terkatung-katung. Ada kemungkinan besar tetap di-"peti-eskan" sebagai X file. Penghargaan PMI dan pemerintah RI berupa Bintang Jasa Pratama "sebagai hadiah hiburan" tetap tak akan mengembalikan jasadnya atau mengurangi dosa-dosa "para pembunuh"-nya baik secara langsung maupun tidak langsung.

*****

  
 EPISODE I :
MENGGENGAM DUNIA


Sabtu pagi ini hujan turun sangat deras. Suara katak bersautan masih terdengar sayup-sayup di antara tetes air. Suasana jalan depan rumah sepi, semua orang enggan keluar rumah. Apalagi menuju alun-alun kota yang tak seberapa jauh untuk menikmati suasana hari bebas kendaraan bermotor.

Elang masih asyik dengan laptopnya. Ratusan atau ribuan berita foto dan video perayaan malam pergantian tahun dibuka dan diamati. Selain pesta kembang api di berbagai wilayah jagad raya, berita foto penyergapan tim Densus 88 beberapa kali dibuka dan diperbesar. Ini satu-satunya berita yang menarik perhatian pemuda tegap yang suka berpetualang di alam bebas di masa libur.

Ia memang suka dunia intelejen yang menurutnya sangat menantang dibanding dunia politik yang memancing sikap dari banyak orang waras tak peduli. Baginya, dunia politik tak lebih dari selembar daun kelor. Karena menganggap hanya dirinya yang paling penting. Memaksakan kehendak tapi pengecut karena tak pernah jujur pada diri sendiri. Pekok, kata teman karibnya dari Jogja si Banteng Putih yang biasa dipanggil Bapoe.
Persahabatan Elang dan Bapoe terjadi ketika dua pemuda ini keduanya merapat ke markas PMI Bantul seminggu setelah gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang tanah Jawa. 

Setelah shalat Subuh, ia biasa mendengarkan ceramah agama lewat radio internet. Sebuah breaking news mengejutkannya. Guncangan kecil yang ia rasakan barusan, ternyata adalah gempa besar di pesisir Selatan Jogja. Tanpa pikir panjang ia ambil ponsel dan ingin memastikan berita itu dari saudara sepupu yang kuliah di Jogja. Tak ada sinyal atau di luar area, begitu pusat layanan mengatakan berkali-kali usahanya menelpon.

Elang keluar kamar menuju tempat telepon rumah berada. Ibunda tengah bercakap-cakap dengan kerabat yang ada di Sleman. Ya...kabar di radio itu benar adanya. Ia segera masuk kamar dan menyiapkan perlengkapan serta bekal ke Jogja secepatnya. Sang ibu mencegah rencana kepergian anak laki satu-satunya.

" Elang... kamu lelaki satu-satunya di rumah ini sepeninggal ayahmu. Kamu pikirlah dengan jernih dan dingin rencanamu itu. Selama ini, kamu kan tak punya pengalaman lain kecuali membantu teman-teman PMI mu jadi petugas pertolongan pertama di kegiatan olahraga" .

" Tidak bu. Mohon maaf dan kerelaannya membantu saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah. Soal pengalaman memang begitu. Tapi itu juga hasil kegiatan di lapangan. Kapan lagi kesempatan untuk berbagi rasa dengan sesama. Tolong ibu...saya diijinkan pergi sepekan atau lebih sedikit. Tak perlu kuatir soal surat tugas. Di sana pasti saya diterima dan dipakai", Elang meyakinkan ibunya .

"Baik. Karena saya anggap kamu sudah dewasa dan bisa bertanggung-jawab atas semua perbuatan, kamu saya ijinkan pergi ke Jogja selama sepekan. Artinya hari ke 10 harus sudah ada di rumah. Paling tidak, ada di sekitar Jakarta. Yang ini tidak ada tawar menawar ", kata ibu sambil memberi sejumlah uang untuk tambahan bekal dirinya bertugas di lapangan kemanusiaan.
***
Jalur Pantura padat kendaraan sepanjang puluhan kilometer setelah melewati Cikampek. Sesuai saran ibunya, tujuan awal adalah saudara yang ada di Sleman agar memudahkan akses ke lokasi bencana. Hampir di sepanjang jalan utama pulau Jawa ini banyak orang membawa kotak atau kardus mi instan bertulisan "Sumbangan Gempa Jogja". Batinnya semakin bergemuruh. Separah apakah korban gempa yang banyak dikira sebagi letusan gunung berapi teraktif di dunia, Merapi ini ?

Duapuluh jam perjalanan ke Sleman tak membuat semangat Elang mengendur. Bahkan sebaliknya. Turun dari bus, ia langsung berganti ojek menuju ke sebuah perumahan elit di pinggir kota Jogja. Banyak bangunan retak dan ada tumpukan puing yang dikumpulkan warga di pinggir jalan. Hari kedua itu masih banyak warga kota membawa harta benda dan anggota keluarga dengan beragam moda ke arah Utara. Ia seolah melawan arus. Ekspresi wajah para eksodan itu diliputi rona cemas dan takut gempa besar akan berulang seperti berita di televisi. Perlu waktu sejam untuk menempuh jarak 3 kilometer yang biasanya hanya 10 atau 15 menit saja.


Di rumah saudaranya, Elang hanya bertemu dengan sepupu perempuan yang nampaknya agak gelisah.

" Mas Elang. Motor sudah saya siapkan dengan bensin penuh. Ini STNK dan helm-nya. Kalau mau istirahat, mandi dan sarapan saya tunggu. Tapi jang lama. Teman-teman saya sudah menunggu di ujung jalan membawa bantuan ke Bantul", kata Tiwi menyambut kedatangannya.
" Ok ..Wi. Kalau boleh saya ikut rombonganmu saja. Tak perlu bawa motor dan istirahat di sini. Langsung ke lokasi bencana saja", jawab Elang.
"Boleh mas. Kebetulan. Kita naik truk bantuan dan langsung ke markas PMI Bantul. Di sana teman-teman saya tengah membantu para relawan yang merapat di markas induk Merpati.

Tanpa banyak cakap, keduanya segera menuju truk yang tadi memang sudah dilihat Elang tengah diparkir di ujung jalan dalam keadaan mesin menyala. Tiwi dengan sigap naik, disusul Elang. Perjalanan dari jalan lingkar Utara ke Dongkelan sebagai pintu masuk utama kota Bantul sangat sulit. Karena banyak pengendara sepeda motor dan mobil pribadi berusaha melaju kencang ke arah berlawanan. Tiga jam lebih mereka baru sampai di di depan markas PMI Cabang Bantul. Sang sopir masih mencari tempat parkir di antara deret truk dan mobil bantuan yang berjajar. Tiwi turun, disusul Elang menuju gedung berlantai dua yang penuh sesak manusia. Kondisi bangunan menghawatirkan dengan sejumlah titik retak.
    

Jumat, 03 Januari 2014

[Inspirasi] Air Mata Pemi



Sumber: Air Mata Pemicu Itu
Kronologi :


Cerita yang berkembang, empat mahasiswa tewas karena ditembak saat lari masuk kampus. Pelakunya diduga dari jalan layang atau di Mal Ciputra. Ini dia kisah versi dulu.


Kamis, 12 Mei1998. Jakarta masih panas oleh aksi mahasiswa. Kala itu, Soeharto tengah berada di Mesir guna lawatan. Situasi di dalam negeri panas, intrik di militer dan pemerintahan pun meruncing. Beberapa kampus menggelar mimbar bebas menuntut reformasi. Hari itu demo terbesar terjadi di kawasan Grogol. Sekitar 10.000 massa terdiri atas mahasiswa, dosen, guru besar, dan karyawan Universitas Trisakti menggelar mimbar bebas. Rektor Trisakti Prof. Moedanton tampak di tengah-tengah massa. Lapangan parkir Gedung Syarief Thayeb seakan tak mampu menampung massa yang meluap. Di luar pagar kampus, masyarakat sekitar berbondong-bondong menyaksikan aksi ini yang didukung penuh oleh pihak rektor dan yayasan Trisakti.


Sampai siang hari, aksi mimbar bebas itu masih berjalan tertib. Mahasiswa masih setia, di dalam kampus, mendengar orasi dari dosen, guru besar, dan rekan-rekannya. "Turunkan harga, laksanakan sidang istimewa MPR," begitu teriakan massa berulang kali. Seorang mahasiswa mengacung-acungkan poster: Rakyat Minta Turunkan Soeharto. Sayang, Jenderal Besar Nasution yang rencananya hadir memberi orasi urung datang.


Menjelang tengah hari, aksi makin panas. Terjadi pembakaran foto Presiden Soeharto. "Turunkan! Turunkan!" suara gemuruh menutut. Setelah itu, tanpa bisa dibendung, mahasiswa berbondong-bondong keluar kampus, tumpah di Jalan S. Parman menuju Gedung DPR/MPR. Masyarakat ikut bergabung, meski ada pembatas dengan mahasiswa. Mendadak berbondong-bondong datang pasukan keamanan, yang awalnya cuma selapis. Lalu jumlahnya mencapai sepuluh lapis. Barisan mahasiswa pun akhirnya terhenti di depan Markas Kodim Jakarta Barat, 200 meter dari kampus Trisakti.


Situasi mulai memanas. Terjadi saling dorong antara aparat dengan massa. Para demonstran memaksa agar bisa menuju Gedung DPR/MPR dengan kawalan pasukan keamanan. Sebagian mahasiswa yang tak sabar mencoba menembus lewat jalan tol, meski akhirnya berhasil dihadang pasukan. Untunglah, tak terjadi bentrokan fisik. "Niat kami aksi damai," ujar Julianto Hendro Cahyono, ketua Senat Mahasiswa Trisakti.


Upaya negosiasi dilakukan. Wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo Soetjipto, meminta kepada Dandim Jakarta Barat Letkol Amril Amir agar mahasiswa dibolehkan ke Gedung DPR. Tapi aparat tetap kukuh, tidak mengizinkan mereka menuju ke gedung rakyat itu. Mahasiswa akhirnya melakukan orasi di jalan raya, di hadapan barisan aparat keamanan. Beberapa mahasiswi membagikan bunga kepada aparat keamanan, meski kadang dicampakkan. Jalan raya dari arah Gorgol menuju Senayan yang tiap hari macet makin buntet.


Bala bantuan keamanan terus berdatangan. Dipimpin Letkol Arthur Damanik, lima panser disiapkan. Terjadi kesepakatan, mahasiswa boleh melakukan orasi sampai pukul 16.00. "Saya minta kalian berjanji bahwa di tempat ini tidak ada aksi kekerasan, tidak ada perusakan," teriak Adi Andojo yang disambut tepuk tangan mahasiswa. Mahasiswa melanjutkan orasi, meminta pelaksanaan reformasi di segala bidang dilakukan secepatnya, termasuk pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Hujan mulai turun sore itu, cukup deras.

Massa mulai pecah, sebagian kembali ke kampus. Tapi, sebagian besar mahasiswa masih bersemangat menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Mereka didukung mahasiswa dari universitas lain, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Tarumanagara. Hujan makin deras. Jumlah massa menyusut, tinggal sekitar seribu  orang. Lewat pengeras suara, seorang aparat memperingatkan mahasiswa,  


"Sesuai kesepakatan, aksi harus diakhiri pukul empat sore." Adi Andojo ditemani Dr. Chairuman, dekan Fakultas Ekonomi Trisakti, mendatangi mahasiswa. Mereka membujuk mahasiswa agar membubarkan diri dan kembali ke kampus. Namun mahasiswa menuntut agar pagar betis pasukan keamanan mundur terlebih dahulu. Akhirnya Kapolres Jakarta Barat Letkol Timur  Pradopo dan Dandim Jakarta Barat Letkol Amril Amir menaiki sebuah meja. Kepada mahasiswa mereka menyatakan rasa terima kasih atas aksi  unjuk rasa yang tertib itu.


Terjadi kesepakatan. Sekitar pukul 16.50 kedua pihak sama-sama "belok  kanan". Mahasiswa menuju kampus dan aparat keamanan menuju Markas  Kodim. Nah, saat massa beringsut masuk ke kampus, tiba-tiba muncul seorang yang mengejek mahasiswa dengan kata-kata kotor. Ulah orang  yang bernama Mas'ud itu memancing kemarahan mahasiswa. Mereka  menyangka ia intel, lalu mengejarnya. Mas'ud lari ke barisan pasukan. Untunglah, Hendro, ketua SM Trisakti, menahan amarah mahasiswa, dan mundur kembali ke kampus. Saat itu sudah menjelang pukul 17.00. Hujan mulai reda.


Tiba-tiba muncul sejumlah pasukan keamanan baru. Mereka masih muda-muda, berseragam coklat dan bersenjata. Gaya dan sikap mereka lebih keras ketimbang pasukan Dalmas (pengendalian massa). Mereka melakukan provokasi terhadap mahasiswa yang sudah berada di halaman kampus.


Lalu, beberapa menit kemudian terdengarlah raungan barisan sepeda motor pasukan Unit Reaksi Cepat (URC) menuju halaman Trisakti. Sangat bising. Mereka mulai menembakkan gas air mata ke arah barisan mahasiswa. Asap perih mengepul. Tiba-tiba pasukan yang sudah mulai  masuk ke Markas Kodim Jakarta Barat berbalik. Tembakan makin gencar.  


Massa kacau balau. Sebagian berlari sambil membungkukkan badan ke halaman kampus. Pasukan baris depan memburu mahasiswa dan  memberondongkan senapan. "Laras senjata mereka terarah mendatar," ujar salah seorang mahasiswa. "Mereka menembak membabi buta," katanya menambahkan. Pagar kampus yang sempit membuat massa saling berebut masuk halaman. Beberapa mahasiswa terinjak kawan sendiri, sementara yang lainnya diinjak-injak aparat keamanan. Banyak yang jatuh di  jalanan. Jay, mahasiswa FE Usakti, melihat mereka yang tersungkur kena tembakan ditendang, lalu ditodong senapan. Seorang mahasiswi yang  sudah tumbang, terbujur di jalan aspal, masih juga ditendang laras  sepatu aparat. Puluhan mahasiswa terluka. Sebagian massa yang  menyelamatkan diri ke kantor Wali Kota Jakarta Barat tak luput dari  sasaran aparat.    


Ketua SM Trisakti sampai saat terakhir masih berada di jalanan, sekitar pukul 17.05. Ketika berlari ke kampus menyelamatkan diri, ia  tersungkur. Bagian bawah ketiak kanannya tertembak dari belakang persis di pelataran dekat ruang senat. "Waktu itu saya sedang negosiasi dengan Dandim dan Kapolres Jakarta Barat. Tiba-tiba pasukan menyerang mahasiswa dengan tembakan," ujarnya.  


Tembakan makin gencar ketika beberapa aparat keamanan bergerak menuju jalan layang. Berbarengan dengan itu, aparat melakukan sweeping. Dari  dalam kampus, mahasiswa melakukan perlawanan. Batu dan botol Aqua mereka lemparkan, membalas aksi aparat. Petugas pun makin beringas.  Beberapa dari mereka berhasil memasuki kampus "A" Trisakti. Sementara  yang lainnya mengambil posisi di atas gedung yang sedang dibangun di sebelah gelanggang mahasiswa. Dari sini mereka menembaki mahasiswa. "Aparat juga menembaki kami dari arah kampus Tarumanagara," tutur Hendro.


Dalam keremangan malam, beberapa mahasiswa mengaku melihat helikopter terbang rendah ke gedung C yang belum berfungsi--gedung ini terletak  di selatan gedung M. Tampak diturunkan lima penembak jitu yang terlatih. Dugaan itu muncul karena mereka melihat banyak bayangan sinar inframerah sebagai pengarah bidikan.

Sekitar pukul 19.00 WIB, terjadi negosiasi yang disaksikan anggota Komnas HAM dan Kontras. Aparat keamanan ditarik. Keadaan mencekam baru  berhenti pada pukul 20.00. "Selama tiga jam kami ketakutan," ujar  Idon, mahasiswa Fakultas Teknik. Seterusnya, para korban dibawa ke  Rumah Sakit Sumber Waras. Ruangan Senat Mahasiswa penuh dengan korban yang menunggu evakuasi.


Ketegangan kembali muncul ketika tersiar kabar bahwa empat mahasiswa tewas tertembak. Elang Surya Lesmana, mahasiswa arsitektur, ditemukan  tewas tertembak di teras Gedung Syarief Thayeb, satu meter dari pintu  masuk. Menurut saksi mata, ia tewas saat itu juga dengan peluru  menembus bagian bawah kepalanya. "Elang sempat diangkat kepalanya saat tergeletak sebelum meninggal," kata Doni Herlambang, mahasiswa  Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, yang juga anggota presidium  Senat Mahasiswa Usakti.  


Di bawah tangga Gedung Syarief Thayeb pula, Hendriawan, anak Fakultas Ekonomi Usakti angkatan 1996, tertembak di leher. Hendriawan sempat  dibopong teman-temannya, sebelum tubuhnya meregang, lalu diam. Dua  mayat lainnya, Heri Hartanto dan Hafidin Royan, ditemukan tergeletak  di lorong kampus. Kesaksian seoarang mahasiswa menyebutkan, saat  dirinya berhasil masuk ke kampus, ia sempat menolong mahasiswa yang tertembak. "Saya tarik dia, tetapi sudah meninggal. Saya lihat  kepalanya tertembak. Saya baru tahu kalau itu Hafidin Royan," tutur mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri angkatan 1996. Menurut ahli forensik dr. Mun'im Idries, keempatnya tewas akibat tembakan peluru tajam.   

 
Elang, menurut Bambang Imanul Hakiem, ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik Industri Usakti, termasuk salah seorang satgas pada aksi hari itu. "Makanya sejak pagi ia sudah ada di kampus ikut persiapan acara demo," katanya. Sejak mimbar bebas di halaman kampus sampai bentrokan terjadi, Elang masih tampak bersama kawan-kawannya. "Bahkan pada pukul 3 siang Elang masih sempat foto bareng teman-temannya di tengah massa demonstran," katanya. Menjelang peristiwa itu, menurut Bambang Imanul Hakiem, tidak ada keanehan di kampus Trisakti. "Cuma kita kaget saja, tiba-tiba banyak pers asing yang meliput aksi kami," katanya.
 Ya, di tengah situasi yang menegangkan, apa pun bisa tercecer. Termasuk kejadian penuh misteri ini.  

Tim Panji

Selasa, 24 Desember 2013

Konspirasi Hati



Tak pernah melintas dalam benak aku akan melakukannya 
hari hari yang begitu syahdu, 
terdiam dalam hening jiwa

Tapi suara itu
tajam menyayat kalbu
jiwa merdeka kan bangkit
Atur lagi langkah-langkah tertunda
hing jiwa tanpa prasangka

Debu-debu jalan seakan kian membisu
dalam keramaian suasana
hiruk pikuk manusia angkara
Membakar jiwa-jiwa ternista
oleh para pendusta yang hina dina
Memakan bangkai saudaramu
yang terkapar di tengah arena
hiruk pikuk para durjana penjajah bangsanya
Amarah membara tiada berarah

Katamu... ini gerakan perubahan
dari tirani yang membelenggu seluruh negeri
Di bawah todongan senjatan berperedam
agar semua aman dan terkendali

Elang Surya Lesmana ...nama itu
anak Trisakti dan relawan PMI
Saat bertugas suci
di tengah panas terik dan kobaran api amarah
Ia berlari dan kembali bawa korban gerakan reformasi
yang ditembak serdadu tak tahu diri
Ia pun jadi korban tembak lari
ketika semua politisi bernyanyi satu lagu pilu menyayat hati
Jasad Elang jadi penghuni peti es berbingkai korban politik
bukan satu pelanggaran hak asasi berat
Yang akan jadi insiden internasional
merugikan banyak petinggi negeri

Elang-elang baru kini muncul dalam satu barisan rapi
Relawan PMI tak lagi berdiam diri
Saat pedagang sapi penjual negeri ingin dihargai
setara dengan syuhada negeri
Memang tak tahu diri.........

Di mana kalian saat revolusi kemerdekaan negeri berapi ?
Ikut Soekarno - Hatta atau kompeni ?
atau bersembunyi di goa sepi ?
Apapun itu...kami tak peduli

Bagimu negeri.. kami berjanji
demi kemanusiaan sejati 
sepanjang hayat dikandung badan
Bagimu negeri..kamiberbakti
bagi kesamaan yang hakiki
Bagimu negeri ...kami mengabdi
dengan kemandirian yang menyertai 
setiap langkah itu juga 
netral...
sukarela...
satu 
dan semesta

Karena kami satu nurani
konspirasi hati menjalin tali temali
ketaatan pada asas
dan ketetapan dalam satu tujuan
Konspirasi hati tak lekang oleh ambisi
tak juga larut dalam eforia
Konspirasi hati membalut sanubari
dalam jiwa yang mandiri


 
 

Selasa, 13 Agustus 2013

BATIN SEORANG RONGGENG


Oleh: Sutriyono

Tasem Atmareja merentang tangan seperti hendak menari. Lensa kamera digital yang semula hendak dipasang untuk mengambil close up wajah pun diundurkan. Akhirnya seluruh badan yang diambil. Ini kesempatan langka karena pada awalnya untuk bertutur mengenai riwayat hidupnya pun Tasem terkesan menghindar.
“Ternyata masih cantik. Masih ada kasihe,” katanya ketika melihat hasil jepretan. Kasihe adalah daya tarik pada yang memandang. Tasem yang telah berumur 60-an masih melihat aura kecantikan pada wajahnya di kamera. Ia mengenakan baju tipis lengan panjang warna coklat muda. Rambutnya berselubung kain penutup. Daya tarik itu pertanda bahwa Indang Kastinem masih menemani dan melindungi dirinya.

Indang adalah roh yang oleh para ronggeng dan masyarakat setempat diyakini mampu merasuk ke dalam diri seseorang yang ‘meminta’ atau mendapatkan ‘anugerah’. Kastinem adalah nama seorang ronggeng yang entah hidup pada tahun berapa dan rohnya tinggal di sekitar Desa Gerduren Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sehingga perpaduan Indang Kastinem menjadi daya dukung spiritual bagi para ronggeng di desa tersebut.
“Waktu saya kecil, saya tinggal di pinggir desa dekat hutan. Saya sering mendengar suara tetabuhan lesung di Bukit Garut. Tetapi kalau didekati ya, tidak ada orangnya,” tutur Tasem.

Desa Gerduren dilingkupi bukit pada sisi utara, timur dan barat. Sisi selatan dipisahkan oleh Sungai Tajum, dekat dengan jalan raya Purwokerto-Bandung. Di salah satu titik ruas jalan Purwokerto-Bandung itulah budayawan Ahmad Tohari tingal yang dari tangannya lahir novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan diterjemahkan lebih dari lima bahasa. Tempat tinggal Ahmad Tohari hanya terpisahkan oleh Sungai Tajum dengan Desa Gerduren, sebuah desa yang menyimpan dinamika kehidupan Ronggeng tua di wilayah Kabupaten Banyumas.

“Samben Kemis ngadeg. Meja itu tingginya sedada saya,” papar Tasem. Ia bertutur mengenai masa kecilnya ketika mulai berkenalan dengan dunia ronggeng. Kala itu dirinya sedikit lebih tinggi dari meja 80 centimeter. Usianya sekitar 8 tahun. Setiap Kamis malam, tatkala kelompok ronggeng di desanya latihan, ia ikut serta ditengah-tengah mereka. Sekedar membantu persiapan atau bersih-bersih selepas latihan. Sebagai seniman, Tasem ditempa oleh alam desa dan lingkungan sosialnya.
Inisiasi itu dimulai ketika teman dan orang-orang dewasa menilai suara Tasem bagus. Ia bias menirukan lagu-lagu seorang ronggeng. Seorang ronggeng tua lantas datang dari belakang sambil memegang kusan, alat menanak nasi berupa anyaman bambu berbentuk kerucut. “Krep, krep, krep, ping telu,” kata sang ronggeng tua seraya menangkupkan kusan ke kepala Tasem. Tiga kali kusan itu ditangkupkan ke kepala gadis kecil Tasem. “Itu biar tidak malu,” katanya.

Dalam keseharian, kusan hanya ada di dapur. Ruang yang menjadi tempat keseharian perempuanperempuan Jawa. Ketika tidak terpakai, kusan yang sudah bersih dicuci itu akan diletakkan dalam posisi menelungkup. Ujung runcing di bagian atas. Tetapi ketika kusan itu dipakai, ujung runcing di bawah, di dalam dandang, dan bertugas menyelesaikan pekerjaan panci atau kuali yang menanak beras menjadi nasi setengah matang. Di kusan di dalam dandang dengan diuapi air mendidih itulah nasi setengah matang selanjutnya dituntaskan menjadi nasi – atau kadang menjadi tumpeng.

Di dalam tradisi ronggeng Desa Gerduren, kusan yang hanya di dapur itu dibawah ke ruang publik. Dalam posisi telungkup, kusan menangkup kepala gadis kecil calon ronggeng.  Kusan sebagai alat menanak nasi makanan pokok untuk kehidupan, digunakan untuk srana atau alat antara membangkitkan kepercayaan diri. Itulah sarana untuk menjadikan seorang perawan desa yang barangkali hanya mengenal dapur dan tanah lahan-lahan bukit serta sawah menjadi berani tampil di depan publik, keluar dari Desa Gerduren yang terpencil. Keliling desa-desa, menari dan menyanyi. Tidak malu. Laku matiraga dijalani Tasem. Pada malam-malam tertentu ia mandi di tujuh sumur tua. Laku itu dimulai selepas tengah malam, ketika tamutamu pemuda dari desa-desa tetangga yang hendak melihat pesona lengger Desa Gerduren sudah pulang.
Beranjak dari satu sumur, di situ ia mandi. Lantas, ketika sudah kering, berangkat lagi ke sumur berikutnya. Demikian seterusnya, menyusuri jalanan setapak desa. Meskipun dingin, terus dijalani. Meskipun lelah, kaki terus melangkah. Biasanya subuh baru tuntas. Ketika mandi, disertai juga dengan doa-doa. Laku mandi tujuh sumur tersebut disertai juga laku puasa atau pantang.

Demikianlah, adakah yang lebih berharga bagi kehidupan selain air? Air adalah sumber kehidupan. Tujuh sumur tua itu menjadi sumber pengharapan bagi Tasem. “Bot-bote pengin dikasihi Mas,”kata Tasem dengan maksud menjelaskan daya pesona seorang ronggeng terpancar karena laku mandi dini hari hingga subuh itu dijalani. Dengan daya pesonanya, Tasem dan kelompok ronggeng Desa Gerduren menerima permintaan pentas tiada henti. Itu juga berarti Tasem mendapatkan sejumlah rupiah.

Sumur tua adalah mata air di sudut-sudut pekarangan atau di ujung bawah bukit yang dirimbuni pohon bambu. Tak ada pasangan bata-semen di situ, hanya cekungan tanah yang digenangi air yang tak pernah habis. Diameternya antara 1-2 meter. Beberapa mata air mengalir persis di bawah pohon beringin atau pohon bulu besar. Tasem dan ronggeng lain mengatakan, mata air itu telah ada sebelum dirinya lahir.
Beberapa sumur bahkan sebenarnya juga sumber air keseharian beberapa keluarga di sekitarnya. Ketika kemarau panjang, sumur-sumur itu menjadi rujukan masyarakat setempat untuk mendapatkan air. Bersama penghargaan akan sumur-sumur tua, Tasem dan masyarakat Desa Gerduren menghargai pohon.
Di bukit Garut, sisi utara desa setempat, dulu masyarakat mengenali dua pohon bulu besar. Pohon tersebut mirip pohon beringin. Pada pohon yang di puncak bukit, diyakini berdiam roh Kakek Garut.  Sementara satu lagi yang terletak sedikit lebih ke bawah dari bukit tersebut, diyakini menjadi rumah tinggal roh Indang Kastinem. Kakek Garut diyakini semacam kamitua ronggeng dan Kastinem adalah ronggengnya.
Seseorang telah membakar pohon bulu tersebut. Belakangan, seniman ronggeng generasi selepas Tasem menanam pohon bulu kembali di dua titik bekas pohon terdahulu. Alam dan pohon adalah berkat bagi para ronggeng seperti Tasem.

Menjelang pentas Selasa Kliwon, Tasem minum air kelapa muda. Bukan sembarang kelapa muda tetapi jenis kelapa hijau. Buahnya dipilih dari tangkai yang menjulur ke timur. Seekor cacing gelang direndam terlebih dahulu dalam air kelapa muda itu. Sehari kemudian baru diminum. Ronggeng sekarang di sebuah perayaan Kabupaten Banyumas. Mereka tidak menjalani laku
matiraga seperti Tasem.
Dua cucu Tasem di Sumur Sepi, salah satu mata air yang digunakan untuk mandi ronggeng.
 “Rekasa, ora sugih seprene kur nggo riwayat thok,” kata Tasem. Laku dan tirakat seorang ronggeng bagi Tasem tidaklah ringan, juga tidak membuatnya menjadi kaya secara materi. Tetapi ia tidak mengelak ketika ditanya bahwa hal itu membuat dirinya gembira. Ia dipuja ketika pentas.
Keterangan Warsun, penduduk setempat yang segenerasi dengan Tasem menggambarkan bagaimana gairah kaum muda memuja para ronggeng. Ketika para ronggeng pentas di satu desa tetangga, maka dalam beberapa hari berikutnya anak-anak muda di desa tersebut berduyun-duyun ke Desa Gerduren. Bertamu ke tempat para ronggeng tersebut dan mencoba meraih hatinya. “Saya biasanya diminta teman saya mengawasi tamu,” kata Warsun.

Tasem sendiri menikah dengan Atmareja pada tahun 1953. Pemuda desa setempat, anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) yang kelak pada tahun 1979 menjabat sebagai polisi desa. Sebelum menikah, Atmareja menyusul kemanapun Tasem pentas.
Ia heran dengan keberanian Atmareja. Tidak takut dimusuhi anakanak muda setempat. Walau dirinya tahu Atmareja menyukainya, waktu itu ia belum mau menanggapi. Atmareja terus saja mengikuti kemana ia pentas.
“Ya hanya ikut di antara penonton. Ketika saya sudah melihat sosoknya, lantas menyingkir.” tambah Tasem.
Selain menari sambil menyanyi, dalam pementasan seorang ronggeng juga melayani tayub. Dalam tayub, seorang pria akan menari berpasangan dengan ronggeng. Tarian ini dimulai dengan tawaran ronggeng.

Ia membawa soder atau selendang untuk menari. Soder tersebut diletakkan di atas piring. Sang ronggeng berjalan ke arah pria sasaran. Kepadanya diberikan soder, sementara si pria menaruh sejumlah uang ke dalam piring tersebut. Urutan para pria yang menari mengikuti derajat kepangkatan mereka. Bila di situ ada camat, maka camatlah yang ditawari terlebih dahulu, baru perangkat-perangkat di bawahnya. Bila yang hadir di situ paling tinggi lurah, maka lurahlah yang ditawari untuk tayub lebih dulu.

“Mereka tidak menolak, karena hadir di situ artinya bersedia ikut nayub,” kata Tasem.
Biasanya para istri pejabat desa juga hadir di situ. Tidak ada yang cemburu dengan tayuban suaminya. Beberapa ronggeng Desa Gerduren diperistri pejabat perkebunan atau aparat kepolisian, pria-pria yang memiliki derajat dan pangkat lebih tinggi dari pada umumnya penduduk Gerduren. Maka ronggeng sekaligus menjadi jalan kenaikan strata sosial. Seorang ronggeng akan berhenti menjadi ronggeng ketika menikah.

“Tetapi kalau ada permintaan nadir ya harus dituruti,” kata Tasem. Ia pernah tampil kembali meronggeng sesudah menikah. Salah seorang teman mantan ronggeng sakit. Matanya buta. Dan ia bernadar, ketika sembuh akan mengundang Ronggeng Tasem pentas. Dan Tasem memenuhinya. Masa menjadi ronggeng bagi Tasem sendiri telah lewat sekitar setengah abad yang lalu. Tetapi suaranya masih bening ketika menembang.


Dalam wangsalannya: Jampang amben, dlika kapitan galar Adoh katon wis perek during kelakon. Jampang amben, dlika kapitan galar maksudnya adalah bambu kerangka dipan. Adoh katon wis perek durung kelakon artinya jauh terlihat, sudah dekat belum juga menjadi pasangan. Wangsalan ini menggambarkan saat dimana Atmareja mengejarngejar dirinya. Suara yang indah itu pula yang telah meruntuhkan hati Atmareja. Seorang pekerja keras yang kini meninggali rumah besar hanya berdua dengan Tasem. Sementara anak-anak mereka telah memiliki rumah sendiri-sendiri.

Sumber tulisan: majalah jong Indonesia 1
@totokaryanto_kebumen. Diberdayakan oleh Blogger.