Selasa, 13 Agustus 2013

BATIN SEORANG RONGGENG


Oleh: Sutriyono

Tasem Atmareja merentang tangan seperti hendak menari. Lensa kamera digital yang semula hendak dipasang untuk mengambil close up wajah pun diundurkan. Akhirnya seluruh badan yang diambil. Ini kesempatan langka karena pada awalnya untuk bertutur mengenai riwayat hidupnya pun Tasem terkesan menghindar.
“Ternyata masih cantik. Masih ada kasihe,” katanya ketika melihat hasil jepretan. Kasihe adalah daya tarik pada yang memandang. Tasem yang telah berumur 60-an masih melihat aura kecantikan pada wajahnya di kamera. Ia mengenakan baju tipis lengan panjang warna coklat muda. Rambutnya berselubung kain penutup. Daya tarik itu pertanda bahwa Indang Kastinem masih menemani dan melindungi dirinya.

Indang adalah roh yang oleh para ronggeng dan masyarakat setempat diyakini mampu merasuk ke dalam diri seseorang yang ‘meminta’ atau mendapatkan ‘anugerah’. Kastinem adalah nama seorang ronggeng yang entah hidup pada tahun berapa dan rohnya tinggal di sekitar Desa Gerduren Kecamatan Purwojati, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sehingga perpaduan Indang Kastinem menjadi daya dukung spiritual bagi para ronggeng di desa tersebut.
“Waktu saya kecil, saya tinggal di pinggir desa dekat hutan. Saya sering mendengar suara tetabuhan lesung di Bukit Garut. Tetapi kalau didekati ya, tidak ada orangnya,” tutur Tasem.

Desa Gerduren dilingkupi bukit pada sisi utara, timur dan barat. Sisi selatan dipisahkan oleh Sungai Tajum, dekat dengan jalan raya Purwokerto-Bandung. Di salah satu titik ruas jalan Purwokerto-Bandung itulah budayawan Ahmad Tohari tingal yang dari tangannya lahir novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan diterjemahkan lebih dari lima bahasa. Tempat tinggal Ahmad Tohari hanya terpisahkan oleh Sungai Tajum dengan Desa Gerduren, sebuah desa yang menyimpan dinamika kehidupan Ronggeng tua di wilayah Kabupaten Banyumas.

“Samben Kemis ngadeg. Meja itu tingginya sedada saya,” papar Tasem. Ia bertutur mengenai masa kecilnya ketika mulai berkenalan dengan dunia ronggeng. Kala itu dirinya sedikit lebih tinggi dari meja 80 centimeter. Usianya sekitar 8 tahun. Setiap Kamis malam, tatkala kelompok ronggeng di desanya latihan, ia ikut serta ditengah-tengah mereka. Sekedar membantu persiapan atau bersih-bersih selepas latihan. Sebagai seniman, Tasem ditempa oleh alam desa dan lingkungan sosialnya.
Inisiasi itu dimulai ketika teman dan orang-orang dewasa menilai suara Tasem bagus. Ia bias menirukan lagu-lagu seorang ronggeng. Seorang ronggeng tua lantas datang dari belakang sambil memegang kusan, alat menanak nasi berupa anyaman bambu berbentuk kerucut. “Krep, krep, krep, ping telu,” kata sang ronggeng tua seraya menangkupkan kusan ke kepala Tasem. Tiga kali kusan itu ditangkupkan ke kepala gadis kecil Tasem. “Itu biar tidak malu,” katanya.

Dalam keseharian, kusan hanya ada di dapur. Ruang yang menjadi tempat keseharian perempuanperempuan Jawa. Ketika tidak terpakai, kusan yang sudah bersih dicuci itu akan diletakkan dalam posisi menelungkup. Ujung runcing di bagian atas. Tetapi ketika kusan itu dipakai, ujung runcing di bawah, di dalam dandang, dan bertugas menyelesaikan pekerjaan panci atau kuali yang menanak beras menjadi nasi setengah matang. Di kusan di dalam dandang dengan diuapi air mendidih itulah nasi setengah matang selanjutnya dituntaskan menjadi nasi – atau kadang menjadi tumpeng.

Di dalam tradisi ronggeng Desa Gerduren, kusan yang hanya di dapur itu dibawah ke ruang publik. Dalam posisi telungkup, kusan menangkup kepala gadis kecil calon ronggeng.  Kusan sebagai alat menanak nasi makanan pokok untuk kehidupan, digunakan untuk srana atau alat antara membangkitkan kepercayaan diri. Itulah sarana untuk menjadikan seorang perawan desa yang barangkali hanya mengenal dapur dan tanah lahan-lahan bukit serta sawah menjadi berani tampil di depan publik, keluar dari Desa Gerduren yang terpencil. Keliling desa-desa, menari dan menyanyi. Tidak malu. Laku matiraga dijalani Tasem. Pada malam-malam tertentu ia mandi di tujuh sumur tua. Laku itu dimulai selepas tengah malam, ketika tamutamu pemuda dari desa-desa tetangga yang hendak melihat pesona lengger Desa Gerduren sudah pulang.
Beranjak dari satu sumur, di situ ia mandi. Lantas, ketika sudah kering, berangkat lagi ke sumur berikutnya. Demikian seterusnya, menyusuri jalanan setapak desa. Meskipun dingin, terus dijalani. Meskipun lelah, kaki terus melangkah. Biasanya subuh baru tuntas. Ketika mandi, disertai juga dengan doa-doa. Laku mandi tujuh sumur tersebut disertai juga laku puasa atau pantang.

Demikianlah, adakah yang lebih berharga bagi kehidupan selain air? Air adalah sumber kehidupan. Tujuh sumur tua itu menjadi sumber pengharapan bagi Tasem. “Bot-bote pengin dikasihi Mas,”kata Tasem dengan maksud menjelaskan daya pesona seorang ronggeng terpancar karena laku mandi dini hari hingga subuh itu dijalani. Dengan daya pesonanya, Tasem dan kelompok ronggeng Desa Gerduren menerima permintaan pentas tiada henti. Itu juga berarti Tasem mendapatkan sejumlah rupiah.

Sumur tua adalah mata air di sudut-sudut pekarangan atau di ujung bawah bukit yang dirimbuni pohon bambu. Tak ada pasangan bata-semen di situ, hanya cekungan tanah yang digenangi air yang tak pernah habis. Diameternya antara 1-2 meter. Beberapa mata air mengalir persis di bawah pohon beringin atau pohon bulu besar. Tasem dan ronggeng lain mengatakan, mata air itu telah ada sebelum dirinya lahir.
Beberapa sumur bahkan sebenarnya juga sumber air keseharian beberapa keluarga di sekitarnya. Ketika kemarau panjang, sumur-sumur itu menjadi rujukan masyarakat setempat untuk mendapatkan air. Bersama penghargaan akan sumur-sumur tua, Tasem dan masyarakat Desa Gerduren menghargai pohon.
Di bukit Garut, sisi utara desa setempat, dulu masyarakat mengenali dua pohon bulu besar. Pohon tersebut mirip pohon beringin. Pada pohon yang di puncak bukit, diyakini berdiam roh Kakek Garut.  Sementara satu lagi yang terletak sedikit lebih ke bawah dari bukit tersebut, diyakini menjadi rumah tinggal roh Indang Kastinem. Kakek Garut diyakini semacam kamitua ronggeng dan Kastinem adalah ronggengnya.
Seseorang telah membakar pohon bulu tersebut. Belakangan, seniman ronggeng generasi selepas Tasem menanam pohon bulu kembali di dua titik bekas pohon terdahulu. Alam dan pohon adalah berkat bagi para ronggeng seperti Tasem.

Menjelang pentas Selasa Kliwon, Tasem minum air kelapa muda. Bukan sembarang kelapa muda tetapi jenis kelapa hijau. Buahnya dipilih dari tangkai yang menjulur ke timur. Seekor cacing gelang direndam terlebih dahulu dalam air kelapa muda itu. Sehari kemudian baru diminum. Ronggeng sekarang di sebuah perayaan Kabupaten Banyumas. Mereka tidak menjalani laku
matiraga seperti Tasem.
Dua cucu Tasem di Sumur Sepi, salah satu mata air yang digunakan untuk mandi ronggeng.
 “Rekasa, ora sugih seprene kur nggo riwayat thok,” kata Tasem. Laku dan tirakat seorang ronggeng bagi Tasem tidaklah ringan, juga tidak membuatnya menjadi kaya secara materi. Tetapi ia tidak mengelak ketika ditanya bahwa hal itu membuat dirinya gembira. Ia dipuja ketika pentas.
Keterangan Warsun, penduduk setempat yang segenerasi dengan Tasem menggambarkan bagaimana gairah kaum muda memuja para ronggeng. Ketika para ronggeng pentas di satu desa tetangga, maka dalam beberapa hari berikutnya anak-anak muda di desa tersebut berduyun-duyun ke Desa Gerduren. Bertamu ke tempat para ronggeng tersebut dan mencoba meraih hatinya. “Saya biasanya diminta teman saya mengawasi tamu,” kata Warsun.

Tasem sendiri menikah dengan Atmareja pada tahun 1953. Pemuda desa setempat, anggota Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) yang kelak pada tahun 1979 menjabat sebagai polisi desa. Sebelum menikah, Atmareja menyusul kemanapun Tasem pentas.
Ia heran dengan keberanian Atmareja. Tidak takut dimusuhi anakanak muda setempat. Walau dirinya tahu Atmareja menyukainya, waktu itu ia belum mau menanggapi. Atmareja terus saja mengikuti kemana ia pentas.
“Ya hanya ikut di antara penonton. Ketika saya sudah melihat sosoknya, lantas menyingkir.” tambah Tasem.
Selain menari sambil menyanyi, dalam pementasan seorang ronggeng juga melayani tayub. Dalam tayub, seorang pria akan menari berpasangan dengan ronggeng. Tarian ini dimulai dengan tawaran ronggeng.

Ia membawa soder atau selendang untuk menari. Soder tersebut diletakkan di atas piring. Sang ronggeng berjalan ke arah pria sasaran. Kepadanya diberikan soder, sementara si pria menaruh sejumlah uang ke dalam piring tersebut. Urutan para pria yang menari mengikuti derajat kepangkatan mereka. Bila di situ ada camat, maka camatlah yang ditawari terlebih dahulu, baru perangkat-perangkat di bawahnya. Bila yang hadir di situ paling tinggi lurah, maka lurahlah yang ditawari untuk tayub lebih dulu.

“Mereka tidak menolak, karena hadir di situ artinya bersedia ikut nayub,” kata Tasem.
Biasanya para istri pejabat desa juga hadir di situ. Tidak ada yang cemburu dengan tayuban suaminya. Beberapa ronggeng Desa Gerduren diperistri pejabat perkebunan atau aparat kepolisian, pria-pria yang memiliki derajat dan pangkat lebih tinggi dari pada umumnya penduduk Gerduren. Maka ronggeng sekaligus menjadi jalan kenaikan strata sosial. Seorang ronggeng akan berhenti menjadi ronggeng ketika menikah.

“Tetapi kalau ada permintaan nadir ya harus dituruti,” kata Tasem. Ia pernah tampil kembali meronggeng sesudah menikah. Salah seorang teman mantan ronggeng sakit. Matanya buta. Dan ia bernadar, ketika sembuh akan mengundang Ronggeng Tasem pentas. Dan Tasem memenuhinya. Masa menjadi ronggeng bagi Tasem sendiri telah lewat sekitar setengah abad yang lalu. Tetapi suaranya masih bening ketika menembang.


Dalam wangsalannya: Jampang amben, dlika kapitan galar Adoh katon wis perek during kelakon. Jampang amben, dlika kapitan galar maksudnya adalah bambu kerangka dipan. Adoh katon wis perek durung kelakon artinya jauh terlihat, sudah dekat belum juga menjadi pasangan. Wangsalan ini menggambarkan saat dimana Atmareja mengejarngejar dirinya. Suara yang indah itu pula yang telah meruntuhkan hati Atmareja. Seorang pekerja keras yang kini meninggali rumah besar hanya berdua dengan Tasem. Sementara anak-anak mereka telah memiliki rumah sendiri-sendiri.

Sumber tulisan: majalah jong Indonesia 1

0 komentar:

Posting Komentar

@totokaryanto_kebumen. Diberdayakan oleh Blogger.