Pengantar:
Cerita ini dan beberapa cerita lain adalah bagian dari sebuah upaya saya dalam menulis cerita bersambung dengan judul : ELANG MENGEPAK JAGAD RAYA. Sebuah cerita yang didedikasikan kepada Elang Surya Lesmana. Seorang mahasiswa dan relawan PMI di Universitas Trisakti Jakarta yang menjadi korban penembakan aparat keamaan saat terjadi tragedi berdarah di sekitar Kampus Universitas tersebut pada 12 Mei 1998. Peristiwa ini memicu solidaritas mahasiswa se Indonesia dan kemudian menjadi gelombang protes yang menuntut penurunan Jenderal Besar Soeharto sebagai lambang tirani kekuasaan militeristik Orde Baru.
Kasus Elang yang tak kunjung diselesaikan dan hanya diakui sebagai "korban musibah politik" oleh kalangan DPR RI yang menikmati segala kemudahan dan keuntungan pribadi maupun kelompok politik dari para korban seperti Elang. Dan kasus ini menginspirasi sejumlah sivitas akademi Universitas Trisaksi khususnya Studi Hukum Internasional bersama relawan dan staf pada Markas Besar PMI (almarhum Kristobal, Titus dan Audi Sapta serta Fitria Sidiqah) menyusun draft Rencana Undang-undang Lambang sebagai tindak lanjut ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 yang ditanda-tangani dan disahkan oleh Pemerintah RI (saat itu RIS) dalam UU No. 59 tahun 1958 tentang perlindungan bagi petugas kesehatan dalam Dinas Kesehatan TNI dan perhimpunan nasional kepalangmerahan (PMI). RUU Lambang yang digagas pemerintah RI mengalami jalan buntu (deadlock) karena ada sejumlah fraksi menganjalnya menjadi UU.
Nasib serupa hampir terjadi pada #RUUKepalangmerahan yang digagas oleh DPR RI yang kini berstatus sebagai RUU yang akan dibahas dalam akhir masa sidang DPR RI. Tapi ada tanda-tanda yang mengarah kebuntuan pembahasan karena Ketua Pansus-nya, Ansory Siregar selalu mengulur waktu dan membuat alasan yang tidak prinsip. Karenanya, relawan PMI se Indonesia mempertanyakan perkembangan proses pembahasan dalam suatu Aksi Simpatik pada 3 Desember 2013 dan beberapa hari sesudahkan dengan beraudiensi ke berbagai fraksi. Termasuk Fraksi PKS dan bertemu langsung dengan Ketua Pansus, Ansory Siregar.
Cerita bersambung ini hanya fiksi. Namun banyak diilhami oleh nasib Elang Surya Lesmana yang kasusnya juga terkatung-katung. Ada kemungkinan besar tetap di-"peti-eskan" sebagai X file. Penghargaan PMI dan pemerintah RI berupa Bintang Jasa Pratama "sebagai hadiah hiburan" tetap tak akan mengembalikan jasadnya atau mengurangi dosa-dosa "para pembunuh"-nya baik secara langsung maupun tidak langsung.
*****
EPISODE I :
MENGGENGAM DUNIA
Sabtu pagi ini hujan turun sangat deras. Suara
katak bersautan masih terdengar sayup-sayup di antara tetes air. Suasana jalan
depan rumah sepi, semua orang enggan keluar rumah. Apalagi menuju alun-alun
kota yang tak seberapa jauh untuk menikmati suasana hari bebas kendaraan
bermotor.
Elang masih asyik dengan laptopnya. Ratusan atau
ribuan berita foto dan video perayaan malam pergantian tahun dibuka dan
diamati. Selain pesta kembang api di berbagai wilayah jagad raya, berita foto
penyergapan tim Densus 88 beberapa kali dibuka dan diperbesar. Ini satu-satunya
berita yang menarik perhatian pemuda tegap yang suka berpetualang di alam bebas
di masa libur.
Ia memang suka dunia intelejen yang menurutnya
sangat menantang dibanding dunia politik yang memancing sikap dari banyak orang
waras tak peduli. Baginya, dunia politik tak lebih dari selembar daun kelor.
Karena menganggap hanya dirinya yang paling penting. Memaksakan kehendak tapi
pengecut karena tak pernah jujur pada diri sendiri. Pekok, kata teman
karibnya dari Jogja si Banteng Putih yang biasa dipanggil Bapoe.
Persahabatan Elang dan Bapoe terjadi ketika dua
pemuda ini keduanya merapat ke markas PMI Bantul seminggu setelah gempa bumi
berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang tanah Jawa.
Setelah shalat Subuh, ia
biasa mendengarkan ceramah agama lewat radio internet. Sebuah breaking news
mengejutkannya. Guncangan kecil yang ia rasakan barusan, ternyata adalah gempa
besar di pesisir Selatan Jogja. Tanpa pikir panjang ia ambil ponsel dan ingin
memastikan berita itu dari saudara sepupu yang kuliah di Jogja. Tak ada sinyal
atau di luar area, begitu pusat layanan mengatakan berkali-kali usahanya
menelpon.
Elang keluar kamar menuju tempat telepon rumah
berada. Ibunda tengah bercakap-cakap dengan kerabat yang ada di Sleman.
Ya...kabar di radio itu benar adanya. Ia segera masuk kamar dan menyiapkan
perlengkapan serta bekal ke Jogja secepatnya. Sang ibu mencegah rencana
kepergian anak laki satu-satunya.
" Elang... kamu lelaki satu-satunya di rumah
ini sepeninggal ayahmu. Kamu pikirlah dengan jernih dan dingin rencanamu itu.
Selama ini, kamu kan tak punya pengalaman lain kecuali membantu teman-teman PMI
mu jadi petugas pertolongan pertama di kegiatan olahraga" .
" Tidak bu. Mohon maaf dan kerelaannya
membantu saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah. Soal pengalaman
memang begitu. Tapi itu juga hasil kegiatan di lapangan. Kapan lagi kesempatan
untuk berbagi rasa dengan sesama. Tolong ibu...saya diijinkan pergi sepekan
atau lebih sedikit. Tak perlu kuatir soal surat tugas. Di sana pasti saya
diterima dan dipakai", Elang meyakinkan ibunya .
"Baik. Karena saya anggap kamu sudah dewasa
dan bisa bertanggung-jawab atas semua perbuatan, kamu saya ijinkan pergi ke
Jogja selama sepekan. Artinya hari ke 10 harus sudah ada di rumah. Paling
tidak, ada di sekitar Jakarta. Yang ini tidak ada tawar menawar ", kata
ibu sambil memberi sejumlah uang untuk tambahan bekal dirinya bertugas di
lapangan kemanusiaan.
***
Jalur Pantura padat kendaraan sepanjang puluhan
kilometer setelah melewati Cikampek. Sesuai saran ibunya, tujuan awal adalah
saudara yang ada di Sleman agar memudahkan akses ke lokasi bencana. Hampir di
sepanjang jalan utama pulau Jawa ini banyak orang membawa kotak atau kardus mi
instan bertulisan "Sumbangan Gempa Jogja". Batinnya semakin
bergemuruh. Separah apakah korban gempa yang banyak dikira sebagi letusan
gunung berapi teraktif di dunia, Merapi ini ?
Duapuluh jam perjalanan ke Sleman tak membuat
semangat Elang mengendur. Bahkan sebaliknya. Turun dari bus, ia langsung
berganti ojek menuju ke sebuah perumahan elit di pinggir kota Jogja. Banyak
bangunan retak dan ada tumpukan puing yang dikumpulkan warga di pinggir jalan.
Hari kedua itu masih banyak warga kota membawa harta benda dan anggota keluarga
dengan beragam moda ke arah Utara. Ia seolah melawan arus. Ekspresi wajah para
eksodan itu diliputi rona cemas dan takut gempa besar akan berulang seperti
berita di televisi. Perlu waktu sejam untuk menempuh jarak 3 kilometer yang
biasanya hanya 10 atau 15 menit saja.
Di rumah saudaranya, Elang hanya bertemu dengan
sepupu perempuan yang nampaknya agak gelisah.
" Mas Elang. Motor sudah saya siapkan dengan
bensin penuh. Ini STNK dan helm-nya. Kalau mau istirahat, mandi dan sarapan
saya tunggu. Tapi jang lama. Teman-teman saya sudah menunggu di ujung jalan
membawa bantuan ke Bantul", kata Tiwi menyambut kedatangannya.
" Ok ..Wi. Kalau boleh saya ikut rombonganmu
saja. Tak perlu bawa motor dan istirahat di sini. Langsung ke lokasi bencana
saja", jawab Elang.
"Boleh mas. Kebetulan. Kita naik truk
bantuan dan langsung ke markas PMI Bantul. Di sana teman-teman saya tengah
membantu para relawan yang merapat di markas induk Merpati.
Tanpa banyak cakap, keduanya segera menuju truk
yang tadi memang sudah dilihat Elang tengah diparkir di ujung jalan dalam
keadaan mesin menyala. Tiwi dengan sigap naik, disusul Elang. Perjalanan dari
jalan lingkar Utara ke Dongkelan sebagai pintu masuk utama kota Bantul sangat
sulit. Karena banyak pengendara sepeda motor dan mobil pribadi berusaha melaju
kencang ke arah berlawanan. Tiga jam lebih mereka baru sampai di di depan
markas PMI Cabang Bantul. Sang sopir masih mencari tempat parkir di antara
deret truk dan mobil bantuan yang berjajar. Tiwi turun, disusul Elang menuju
gedung berlantai dua yang penuh sesak manusia. Kondisi bangunan menghawatirkan
dengan sejumlah titik retak.
0 komentar:
Posting Komentar