Cerita yang berkembang, empat mahasiswa tewas karena
ditembak saat lari masuk kampus. Pelakunya diduga dari jalan layang atau di Mal
Ciputra. Ini dia kisah versi dulu.
Kamis, 12 Mei1998. Jakarta masih panas oleh aksi
mahasiswa. Kala itu, Soeharto tengah berada di Mesir guna lawatan. Situasi di
dalam negeri panas, intrik di militer dan pemerintahan pun meruncing. Beberapa kampus
menggelar mimbar bebas menuntut reformasi. Hari itu demo terbesar terjadi di
kawasan Grogol. Sekitar 10.000 massa terdiri atas mahasiswa, dosen, guru besar,
dan karyawan Universitas Trisakti menggelar mimbar bebas. Rektor Trisakti Prof.
Moedanton tampak di tengah-tengah massa. Lapangan parkir Gedung Syarief Thayeb
seakan tak mampu menampung massa yang meluap. Di luar pagar kampus, masyarakat sekitar
berbondong-bondong menyaksikan aksi ini yang didukung penuh oleh pihak rektor
dan yayasan Trisakti.
Sampai siang hari, aksi mimbar bebas itu masih
berjalan tertib. Mahasiswa masih setia, di dalam kampus, mendengar orasi dari
dosen, guru besar, dan rekan-rekannya. "Turunkan harga, laksanakan sidang istimewa
MPR," begitu teriakan massa berulang kali. Seorang mahasiswa mengacung-acungkan
poster: Rakyat Minta Turunkan Soeharto. Sayang, Jenderal Besar Nasution yang
rencananya hadir memberi orasi urung datang.
Menjelang tengah hari, aksi makin panas. Terjadi
pembakaran foto Presiden Soeharto. "Turunkan! Turunkan!" suara
gemuruh menutut. Setelah itu, tanpa bisa dibendung, mahasiswa
berbondong-bondong keluar kampus, tumpah di Jalan S. Parman menuju Gedung
DPR/MPR. Masyarakat ikut bergabung, meski ada pembatas dengan mahasiswa.
Mendadak berbondong-bondong datang pasukan keamanan, yang awalnya cuma selapis.
Lalu jumlahnya mencapai sepuluh lapis. Barisan mahasiswa pun akhirnya terhenti
di depan Markas Kodim Jakarta Barat, 200 meter dari kampus Trisakti.
Situasi mulai memanas. Terjadi saling dorong antara
aparat dengan massa. Para demonstran memaksa agar bisa menuju Gedung DPR/MPR
dengan kawalan pasukan keamanan. Sebagian mahasiswa yang tak sabar mencoba menembus
lewat jalan tol, meski akhirnya berhasil dihadang pasukan. Untunglah, tak
terjadi bentrokan fisik. "Niat kami aksi damai," ujar Julianto Hendro
Cahyono, ketua Senat Mahasiswa Trisakti.
Upaya negosiasi dilakukan. Wakil mahasiswa, Dekan
Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo Soetjipto, meminta kepada Dandim Jakarta
Barat Letkol Amril Amir agar mahasiswa dibolehkan ke Gedung DPR. Tapi aparat tetap
kukuh, tidak mengizinkan mereka menuju ke gedung rakyat itu. Mahasiswa akhirnya
melakukan orasi di jalan raya, di hadapan barisan aparat keamanan. Beberapa
mahasiswi membagikan bunga kepada aparat keamanan, meski kadang dicampakkan.
Jalan raya dari arah Gorgol menuju Senayan yang tiap hari macet makin buntet.
Bala bantuan keamanan terus berdatangan. Dipimpin
Letkol Arthur Damanik, lima panser disiapkan. Terjadi kesepakatan, mahasiswa
boleh melakukan orasi sampai pukul 16.00. "Saya minta kalian berjanji
bahwa di tempat ini tidak ada aksi kekerasan, tidak ada perusakan," teriak
Adi Andojo yang disambut tepuk tangan mahasiswa. Mahasiswa melanjutkan orasi,
meminta pelaksanaan reformasi di segala bidang dilakukan secepatnya, termasuk
pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Hujan mulai turun sore itu, cukup deras.
Massa mulai pecah, sebagian kembali ke kampus. Tapi,
sebagian besar mahasiswa masih bersemangat menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Mereka
didukung mahasiswa dari universitas lain, seperti Universitas Indonesia dan
Universitas Tarumanagara. Hujan makin deras. Jumlah massa menyusut, tinggal
sekitar seribu orang. Lewat pengeras suara, seorang aparat
memperingatkan mahasiswa,
"Sesuai kesepakatan, aksi harus diakhiri pukul
empat sore." Adi Andojo ditemani Dr. Chairuman, dekan Fakultas Ekonomi
Trisakti, mendatangi mahasiswa. Mereka membujuk mahasiswa agar membubarkan diri
dan kembali ke kampus. Namun mahasiswa menuntut agar pagar betis pasukan
keamanan mundur terlebih dahulu. Akhirnya Kapolres Jakarta Barat Letkol Timur Pradopo dan Dandim Jakarta Barat Letkol Amril Amir
menaiki sebuah meja. Kepada mahasiswa mereka menyatakan rasa terima
kasih atas aksi unjuk rasa yang tertib itu.
Terjadi kesepakatan. Sekitar pukul 16.50 kedua pihak
sama-sama "belok kanan". Mahasiswa menuju kampus dan aparat
keamanan menuju Markas Kodim. Nah, saat massa beringsut masuk ke kampus,
tiba-tiba muncul seorang yang mengejek mahasiswa dengan kata-kata kotor.
Ulah orang yang bernama Mas'ud itu memancing kemarahan mahasiswa.
Mereka menyangka ia intel, lalu mengejarnya. Mas'ud lari ke
barisan pasukan. Untunglah, Hendro, ketua SM Trisakti, menahan amarah
mahasiswa, dan mundur kembali ke kampus. Saat itu sudah menjelang pukul 17.00.
Hujan mulai reda.
Tiba-tiba muncul sejumlah pasukan keamanan baru.
Mereka masih muda-muda, berseragam coklat dan bersenjata. Gaya dan sikap mereka
lebih keras ketimbang pasukan Dalmas (pengendalian massa). Mereka melakukan
provokasi terhadap mahasiswa yang sudah berada di halaman kampus.
Lalu, beberapa menit kemudian terdengarlah raungan
barisan sepeda motor pasukan Unit Reaksi Cepat (URC) menuju halaman Trisakti.
Sangat bising. Mereka mulai menembakkan gas air mata ke arah barisan mahasiswa.
Asap perih mengepul. Tiba-tiba pasukan yang sudah mulai masuk ke Markas Kodim Jakarta Barat berbalik. Tembakan
makin gencar.
Massa kacau balau. Sebagian berlari sambil
membungkukkan badan ke halaman kampus. Pasukan baris depan memburu mahasiswa
dan memberondongkan senapan. "Laras senjata mereka
terarah mendatar," ujar salah seorang mahasiswa. "Mereka menembak
membabi buta," katanya menambahkan. Pagar kampus yang sempit membuat massa
saling berebut masuk halaman. Beberapa mahasiswa terinjak kawan sendiri,
sementara yang lainnya diinjak-injak aparat keamanan. Banyak yang jatuh di jalanan.
Jay, mahasiswa FE Usakti, melihat mereka yang tersungkur kena tembakan
ditendang, lalu ditodong senapan. Seorang mahasiswi yang sudah tumbang, terbujur di jalan aspal, masih juga
ditendang laras sepatu aparat. Puluhan mahasiswa terluka. Sebagian
massa yang menyelamatkan diri ke kantor Wali Kota Jakarta Barat
tak luput dari sasaran aparat.
Ketua SM Trisakti sampai saat terakhir masih berada di
jalanan, sekitar pukul 17.05. Ketika berlari ke kampus menyelamatkan diri, ia tersungkur. Bagian bawah ketiak kanannya tertembak
dari belakang persis di pelataran dekat ruang senat. "Waktu itu saya sedang negosiasi dengan Dandim dan Kapolres Jakarta Barat.
Tiba-tiba pasukan menyerang mahasiswa dengan tembakan," ujarnya.
Tembakan makin gencar ketika beberapa aparat keamanan
bergerak menuju jalan layang. Berbarengan dengan itu, aparat melakukan
sweeping. Dari dalam kampus, mahasiswa melakukan perlawanan. Batu dan
botol Aqua mereka lemparkan, membalas aksi aparat. Petugas pun makin beringas. Beberapa dari mereka berhasil memasuki kampus
"A" Trisakti. Sementara yang lainnya mengambil posisi di atas gedung yang
sedang dibangun di sebelah gelanggang mahasiswa. Dari sini mereka
menembaki mahasiswa. "Aparat juga menembaki kami dari arah kampus Tarumanagara,"
tutur Hendro.
Dalam keremangan malam, beberapa mahasiswa mengaku
melihat helikopter terbang rendah ke gedung C yang belum berfungsi--gedung ini terletak di selatan gedung M. Tampak diturunkan lima penembak jitu
yang terlatih. Dugaan itu muncul karena mereka melihat banyak bayangan sinar inframerah
sebagai pengarah bidikan.
Sekitar pukul 19.00 WIB, terjadi negosiasi yang
disaksikan anggota Komnas HAM dan Kontras. Aparat keamanan ditarik. Keadaan
mencekam baru berhenti pada pukul 20.00. "Selama tiga jam kami
ketakutan," ujar Idon, mahasiswa Fakultas Teknik. Seterusnya, para
korban dibawa ke Rumah Sakit Sumber Waras. Ruangan Senat Mahasiswa penuh
dengan korban yang menunggu evakuasi.
Ketegangan kembali muncul ketika tersiar kabar bahwa
empat mahasiswa tewas tertembak. Elang Surya Lesmana, mahasiswa arsitektur,
ditemukan tewas tertembak di teras Gedung Syarief Thayeb, satu
meter dari pintu masuk. Menurut saksi mata, ia tewas saat itu juga
dengan peluru menembus bagian bawah kepalanya. "Elang sempat
diangkat kepalanya saat tergeletak sebelum meninggal," kata Doni
Herlambang, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, yang juga
anggota presidium Senat Mahasiswa Usakti.
Di bawah tangga Gedung Syarief Thayeb pula, Hendriawan,
anak Fakultas Ekonomi Usakti angkatan 1996, tertembak di leher. Hendriawan
sempat dibopong teman-temannya, sebelum tubuhnya meregang,
lalu diam. Dua mayat lainnya, Heri Hartanto dan Hafidin Royan,
ditemukan tergeletak di lorong kampus. Kesaksian seoarang mahasiswa
menyebutkan, saat dirinya berhasil masuk ke kampus, ia sempat menolong
mahasiswa yang tertembak. "Saya tarik dia, tetapi sudah
meninggal. Saya lihat kepalanya tertembak. Saya baru tahu kalau itu Hafidin
Royan," tutur mahasiswa Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri
angkatan 1996. Menurut ahli forensik dr. Mun'im Idries, keempatnya tewas akibat
tembakan peluru tajam.
Elang, menurut Bambang Imanul Hakiem, ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik
Industri Usakti, termasuk salah seorang satgas pada aksi hari itu.
"Makanya sejak pagi ia sudah ada di kampus ikut persiapan acara demo,"
katanya. Sejak mimbar bebas di halaman kampus sampai bentrokan terjadi, Elang
masih tampak bersama kawan-kawannya. "Bahkan pada pukul 3 siang Elang
masih sempat foto bareng teman-temannya di tengah massa demonstran,"
katanya. Menjelang peristiwa itu, menurut Bambang Imanul Hakiem, tidak ada
keanehan di kampus Trisakti. "Cuma kita kaget saja, tiba-tiba banyak pers
asing yang meliput aksi kami," katanya. Ya, di tengah situasi yang menegangkan, apa pun bisa
tercecer. Termasuk kejadian penuh misteri ini.
Tim Panji